Penyelesaian Masalah 4 Pulau, Yusril Himbau Masyarakat Aceh Tidak Salah Paham
Yusril menegaskan dirinya sangat memahami bahwa semangat dari MoU Helsinki merupakan titik tolak dalam menyelesaikan persoalan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh.
Papuanewsonline.com - 20 Jun 2025, 00:01 WIT
Papuanewsonline.com/ Politik & Pemerintahan

Papuanewsonline.com, Sydney
- Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril
Ihza Mahendra mengimbau masyarakat Aceh untuk tidak salah paham terhadap
pernyataannya terkait kedudukan MoU Helsinki dan UndangUndang Nomor 24 Tahun
1956 dalam penyelesaian status empat pulau yang sempat menjadi polemik antara
Aceh dan Sumatera Utara.
Meskipun polemik mengenai Pulau
Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang telah selesai
melalui keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan keempat pulau
tersebut sebagai bagian dari wilayah Provinsi Aceh, sejumlah tokoh masyarakat
Aceh menanggapi pernyataan Yusril secara keliru.
"Tidak seorang pun di negara
ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian
masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI," jelas
Yusril dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia di Sydney, Australia,
Kamis (19/6).
Ia menambahkan, "Saya
menjabat Mensesneg ketika perundingan Helsinki berlangsung, sehingga terlibat
baik langsung maupun tidak langsung dalam diskusi internal Pemerintah RI dengan
Tim Perunding dalam menyepakati MoU, termasuk pula menindaklanjuti hasil MoU
itu. Sebab saya juga bersama Mendagri Alm. Mohammad Ma'ruf yang ditugasi
Presiden membahas RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR sampai selesai."
Yusril menegaskan dirinya sangat
memahami bahwa semangat dari MoU Helsinki merupakan titik tolak dalam
menyelesaikan persoalan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh. Namun, Yusril,
melanjutkan, dalam konteks penyelesaian status empat pulau antara Aceh dan
Sumut, rujukannya tidak bisa secara langsung kepada MoU Helsinki dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.
"MoU Helsinki menegaskan
bahwa wilayah Aceh mengacu kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, tetapi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 itu hanya menyebutkan kabupaten-kabupaten
mana saja yang masuk wilayah Provinsi Aceh. Sementara status empat pulau, sepatah
kata pun tidak disebutkan dalam undangundang tersebut," ujar Yusril.
Ia menjelaskan bahwa penentuan
batas daerah provinsi, kabupaten, dan kota harus mengacu kepada ketentuan yang
lebih mutakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah.
"UU ini menegaskan bahwa batas
daerah diputuskan dalam Peraturan Mendagri. Itu kalau UU tentang pembentukan
provinsi, kabupaten dan kota yang baru tidak menentukan secara jelas
batas-batas koordinat daerah yang dimekarkan itu. Itu inti penjelasan
saya," tegasnya.
Dengan demikian, Yusril
menyatakan keheranannya atas adanya pihak-pihak yang menuduh dirinya tidak
menghargai MoU Helsinki dan bahkan melontarkan kecaman-kecaman.
"Saya sangat heran ada
sementara pihak yang menuduh diri saya tidak menghargai MoU Helsinki dan
berbagai kecaman lainnya," imbuhnya. Terkait keputusan Presiden Prabowo
Subianto, Yusril menjelaskan bahwa keputusan tersebut mengacu pada dokumen kesepakatan
antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar pada
tahun 1992 yang dibuat atas arahan Presiden Soeharto dan Mendagri Rudini waktu
itu "Tahun 1992 itu belum ada MoU Helsinki.
Seperti saya katakan tadi, MoU
itu rujukan kita bersama, spirit bersama, dalam menyelesaikan masalah apapun
antara Pemerintah Pusat dengan Aceh. Rujukan detailnya bisa mengacu kepada
rujukan lain seperti Kesepakatan Tahun 1992 tersebut," tegasnya lagi.
Yusril mengatakan komitmennya
membantu masyarakat Aceh tidak pernah berubah sejak gurunya Prof. Osman Raliby
memperkenalkan dirinya dengan Tengku Muhammad Daoed Beureueh tahun 1978. Saya
juga yang mengusulkan nama Nanggroe Aceh Darussalam dan keberadaan Qanun Aceh
untuk mengimplementasikan syariat Islam di Aceh sebelum MoU Helsinki.
"Saya kualat dengan Tengku Daoed Beureueh dan Prof. Osman Raliby kalau sampai saya tidak membantu masyarakat Aceh," demikian penegasan Yusril seraya mengimbau agar jangan ada lagi kesalahpahaman tentang pernyataannya terkait MoU Helsinki