logo-website
Rabu, 03 Des 2025,  WIT

Lemasa Kepung Kantor Bupati Mimika: Pemerintah Dinilai Bersembunyi di Balik Isu Persatuan

Aksi demonstrasi keluarga besar Amungme menyoroti mandeknya pengakuan resmi terhadap Lemasa, sementara pemerintah daerah berdalih perlunya penyatuan seluruh masyarakat adat.

Papuanewsonline.com - 25 Nov 2025, 01:54 WIT

Papuanewsonline.com/ Politik & Pemerintahan

Suasana demonstrasi Lemasa di Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Mimika pada Senin (24/11/2025).

Papuanewsonline.com, Timika – Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Mimika kembali menjadi pusat perhatian setelah Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) menggelar demonstrasi pada Senin (24/11/2025). Aksi ini menandai akumulasi kekecewaan masyarakat adat Amungme terhadap pemerintah daerah yang dinilai tidak menunjukkan sikap tegas terkait pengakuan Lemasa.


Massa aksi datang dengan tuntutan jelas: meminta Bupati Johannes Rettob memberikan pengakuan sah terhadap Lemasa sebagai lembaga adat yang mewakili masyarakat Amungme. Namun hingga kini, pemerintah daerah belum mengambil langkah konkret, yang memicu ketegangan antara lembaga adat dan pejabat pemerintah.

Dalam demonstrasi tersebut, Direktur Lemasa, Manuel John Magal, mengungkapkan kekecewaannya karena pemerintah dianggap menutup pintu komunikasi. Ia menyebut bahwa selama ini tidak ada ruang dialog terbuka yang disediakan pemerintah, sehingga masyarakat memilih turun ke jalan untuk menyampaikan tuntutan mereka. “Jadi selama ini kami didiamkan, pemerintah tidak membuka ruang dialog, sehingga masyarakat datang aksi hari ini,” ujarnya.

Di tengah desakan tersebut, Lemasa berharap agar Bupati bersikap bijaksana dalam menyikapi persoalan adat yang sudah berlangsung lama. Namun, harapan itu tampaknya menghadapi tantangan besar karena pemerintah masih bersandar pada alasan perlunya penyatuan semua unsur masyarakat Amungme sebelum mengambil keputusan.

Wakil Bupati Mimika, Emanuel Kemong, menegaskan bahwa pemerintah menghargai keberadaan suku Amungme dan Kamoro serta lembaga adatnya. Namun ia menolak menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan Lemasa sebelum diadakan musyawarah adat yang menyatukan seluruh masyarakat Amungme. “SK tidak bisa dikeluarkan sebelum Musdat dengan kumpulkan semua anak Amungme. Amungme harus utuh, jangan ada perpecahan,” tegasnya.

Bupati Johannes Rettob memberikan pernyataan yang sejalan dengan wakilnya. Ia menekankan bahwa pembentukan lembaga masyarakat hukum adat harus melalui proses kolektif yang melibatkan seluruh pihak. Namun dengan kondisi masyarakat Amungme yang saat ini belum sepenuhnya solid, langkah tersebut justru menempatkan masyarakat dalam posisi menunggu tanpa kepastian.

Situasi ini membuat banyak peserta aksi menilai bahwa pemerintah sedang berupaya menunda pengakuan Lemasa dengan menggunakan isu persatuan sebagai alasan. Penundaan tersebut dianggap hanya memperkuat status quo dan menguntungkan pihak-pihak tertentu yang selama ini memiliki akses lebih dekat ke pemerintah daerah.

Akibatnya, masyarakat adat Amungme kembali berhadapan dengan jalan buntu. Mereka menuntut pengakuan, sementara pemerintah menuntut penyatuan terlebih dahulu. Namun tanpa upaya nyata untuk membuka ruang dialog yang inklusif, jurang ketidakpastian akan semakin melebar.

Hingga aksi berakhir, belum ada keputusan resmi dari pemerintah daerah. Masyarakat pun pulang dengan pertanyaan besar: apakah suara mereka benar-benar didengar, atau sekadar ditenangkan dengan janji yang belum tentu terwujud.

 

Penulis: Jid

Editor: GF

Bagikan berita:
To Social Media :
Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE