Lemasa Kepung Kantor Bupati Mimika: Pemerintah Dinilai Bersembunyi di Balik Isu Persatuan
Aksi demonstrasi keluarga besar Amungme menyoroti mandeknya pengakuan resmi terhadap Lemasa, sementara pemerintah daerah berdalih perlunya penyatuan seluruh masyarakat adat.
Papuanewsonline.com - 25 Nov 2025, 01:54 WIT
Papuanewsonline.com/ Politik & Pemerintahan
Papuanewsonline.com, Timika – Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Mimika kembali menjadi pusat perhatian setelah Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) menggelar demonstrasi pada Senin (24/11/2025). Aksi ini menandai akumulasi kekecewaan masyarakat adat Amungme terhadap pemerintah daerah yang dinilai tidak menunjukkan sikap tegas terkait pengakuan Lemasa.
Massa aksi datang dengan tuntutan jelas: meminta Bupati
Johannes Rettob memberikan pengakuan sah terhadap Lemasa sebagai lembaga adat
yang mewakili masyarakat Amungme. Namun hingga kini, pemerintah daerah belum
mengambil langkah konkret, yang memicu ketegangan antara lembaga adat dan
pejabat pemerintah.
Dalam demonstrasi tersebut, Direktur Lemasa, Manuel John
Magal, mengungkapkan kekecewaannya karena pemerintah dianggap menutup pintu
komunikasi. Ia menyebut bahwa selama ini tidak ada ruang dialog terbuka yang
disediakan pemerintah, sehingga masyarakat memilih turun ke jalan untuk
menyampaikan tuntutan mereka. “Jadi selama ini kami didiamkan, pemerintah tidak
membuka ruang dialog, sehingga masyarakat datang aksi hari ini,” ujarnya.
Di tengah desakan tersebut, Lemasa berharap agar Bupati
bersikap bijaksana dalam menyikapi persoalan adat yang sudah berlangsung lama.
Namun, harapan itu tampaknya menghadapi tantangan besar karena pemerintah masih
bersandar pada alasan perlunya penyatuan semua unsur masyarakat Amungme sebelum
mengambil keputusan.
Wakil Bupati Mimika, Emanuel Kemong, menegaskan bahwa
pemerintah menghargai keberadaan suku Amungme dan Kamoro serta lembaga adatnya.
Namun ia menolak menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan Lemasa sebelum
diadakan musyawarah adat yang menyatukan seluruh masyarakat Amungme. “SK tidak
bisa dikeluarkan sebelum Musdat dengan kumpulkan semua anak Amungme. Amungme
harus utuh, jangan ada perpecahan,” tegasnya.
Bupati Johannes Rettob memberikan pernyataan yang sejalan
dengan wakilnya. Ia menekankan bahwa pembentukan lembaga masyarakat hukum adat
harus melalui proses kolektif yang melibatkan seluruh pihak. Namun dengan
kondisi masyarakat Amungme yang saat ini belum sepenuhnya solid, langkah
tersebut justru menempatkan masyarakat dalam posisi menunggu tanpa kepastian.
Situasi ini membuat banyak peserta aksi menilai bahwa
pemerintah sedang berupaya menunda pengakuan Lemasa dengan menggunakan isu
persatuan sebagai alasan. Penundaan tersebut dianggap hanya memperkuat status
quo dan menguntungkan pihak-pihak tertentu yang selama ini memiliki akses lebih
dekat ke pemerintah daerah.
Akibatnya, masyarakat adat Amungme kembali berhadapan dengan
jalan buntu. Mereka menuntut pengakuan, sementara pemerintah menuntut penyatuan
terlebih dahulu. Namun tanpa upaya nyata untuk membuka ruang dialog yang
inklusif, jurang ketidakpastian akan semakin melebar.
Hingga aksi berakhir, belum ada keputusan resmi dari
pemerintah daerah. Masyarakat pun pulang dengan pertanyaan besar: apakah suara
mereka benar-benar didengar, atau sekadar ditenangkan dengan janji yang belum
tentu terwujud.
Penulis: Jid
Editor: GF