logo-website
Sabtu, 12 Jul 2025,  WIT

Menko Yusril Dukung Daud Beureu'eh Menjadi Pahlawan Nasional

Pernyataan tersebut disampaikan Yusril saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Nasional Teungku Daud Beureu'eh di Anjong Mon Mata, di belakang Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, Kamis (10/7), Malam.

Papuanewsonline.com - 11 Jul 2025, 23:06 WIT

Papuanewsonline.com/ Politik & Pemerintahan

Menko Yusril Dukung Daud Beureu'eh Menjadi Pahlawan Nasional

Papuanewsonline.com, Banda Aceh — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan

(Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menyatakan mendukung usulan masyarakat Aceh agar Teungku Muhammad Daud Beureu'eh dicalonkan sebagai Pahlawan Nasional.

Pernyataan tersebut disampaikan Yusril saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Nasional Teungku Daud Beureu'eh di Anjong Mon Mata, di belakang Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, Kamis (10/7), Malam.

Yusril mengatakan, sejarah Aceh, khususnya peran Daud Beureu'eh dalam melawan Belanda dan Jepang, serta peran sentralnya dalam mendukung kemerdekaan RI dan menegaskan Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia, merupakan usaha luar biasa yang telah dilakukannya bagi bangsa dan negara.

“Tidak semua tokoh di Aceh gembira dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sebagian ingin Aceh menjadi negara sendiri, sebagian malah ingin tetap di bawah penjajahan Belanda. Daud Beureu'eh berjuang habis-habisan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI baik secara politik, militer, maupun diplomasi,” tegas Yusril.

Yusril menjelaskan bahwa keinginan Daud Beureu'eh agar Aceh menjadi provinsi sendiri dengan keistimewaannya disetujui oleh Bung Karno saat berkunjung ke Aceh awal tahun 1946.

Karena itu, pada masa revolusi, Daud Beureu’eh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dengan pangkat tituler Mayor Jenderal TNI.

Provinsi Aceh akhirnya dibentuk melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri RI untuk Sumatera yang berkedudukan di Kutaraja dengan Peraturan Darurat Wakil Perdana Menteri yang diteken Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Lanjut Yusril bahwa Daud Beureu’eh otomatis dikukuhkan menjadi Gubernur Aceh. Namun pada 1950, Peraturan Darurat tersebut tidak disetujui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Menteri Dalam Negeri saat itu, Mr. Soesanto Tirtoprodjo dari PNI, sehingga peraturan itu harus dicabut dan Aceh diintegrasikan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

“Celakanya, pencabutan Keputusan Darurat Wakil Perdana Menteri Sjafruddin itu harus dilaksanakan oleh Perdana Menteri RI yang baru, Mohammad Natsir, padahal baik Sjafruddin, Natsir, maupun Daud

Beureu'eh semuanya adalah tokoh Partai Masyumi,” jelas Yusril.

Menurut Yusril, saat itu Natsir menghadapi dilema luar biasa untuk melaksanakan putusan KNIP, sehingga memutuskan berangkat ke Aceh untuk menemui Daud Beureu’eh.Lanjut dikatakan Yusril bahwa Natsir terlambat sehari datang ke Aceh karena putrinya meninggal tenggelam di Kolam Renang Cikini,” kenang Yusril dari wawancaranya dengan Natsir pada 1982.

Saat Natsir mendarat di Aceh, Daud Beureu’eh telah menyingkir ke luar kota karena sehari sebelumnya beliau telah mengumumkan perlawanan dan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Jakarta.

"Natsir sangat memahami kekecewaan Daud Beureu’eh atas pembubaran Provinsi Aceh dan ingin agar provinsi tersebut dibentuk kembali bersamaan dengan pembentukan provinsi lain. Hal ini disampaikan

Natsir dalam pidato di depan masyarakat Aceh yang berdatangan ke Pendopo Gubernur, yang diterjemahkan Osman Raliby ke dalam Bahasa Aceh," ucap Yusril.

Ditambahkan Yusril saat itu, Natsir juga menitipkan pesan kepada Daud

Beureu’eh melalui Osman Raliby agar menahan diri dari perlawanan, Namun Daud Beureu’eh menjawab bahwa "nasi sudah menjadi bubur" dan telah menyingkir dari ibu

kota Aceh, Kutaraja, dan masuk hutan untuk melakukan perlawanan, meskipun saat itu belum mengumumkan berdirinya DI/TII, yang baru dilakukan pada 1953.

Jadi walaupun Provinsi Aceh kembali terbentuk pada 1956 dan dipisahkan dari Sumatera Utara, Daud Beureu’eh telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Belakangan, DI/TII Aceh yang

dipimpinnya menyatakan bergabung dengan PRRI dan RPI (Republik Persatuan Indonesia) sebagai gabungan PRRI-Permesta pada1958.

“Dari fakta-fakta sejarah itu, Daud Beureu’eh mestinya tidak dianggap sebagai pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI. Beliau seorang Republikan yang kecewa dengan janji-janji yang tak kunjung diwujudkan para pemimpin di pusat,” ujar Yusril.

Yusril menegaskan, sejarah tentang Daud Beureu’eh perlu ditulis ulang.

“Beliau adalah pejuang RI sejati, jasa-jasanya tak ternilai bagi bangsa dan negara, sehingga sudah saatnya beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional,” kata Yusril.

Ia menambahkan, Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara pada era Orde Lama dan Orde Baru juga pernah dianggap pemberontak PRRI. Namun setelah dikaji ulang, mereka sejatinya bukan pemberontak untuk memecah belah bangsa, melainkan melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah pusat dalam menerapkan Demokrasi Terpimpin yang memberi ruang kepada kaum komunis untuk masuk ke pemerintahan.

“Akhirnya, Presiden SBY meneken Keputusan Presiden yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara,” tutup Yusril.

Menko Yusril berharap hal yang sama dapat dilakukan terhadap Teungku Muhammad Daud Beureu’eh.(Ning)

Bagikan berita:
To Social Media :
Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE