BBKSDA Papua Klarifikasi Soal Pemusnahan Cenderawasih: Bukan Tindakan Mendiskreditkan Budaya
Penjelasan resmi BBKSDA Papua tegaskan komitmen melindungi satwa endemik dan menghormati nilai budaya masyarakat adat Papua di tengah polemik pemusnahan opset burung cenderawasih
Papuanewsonline.com - 22 Okt 2025, 20:30 WIT
Papuanewsonline.com/ Politik & Pemerintahan
Papuanewsonline.com, Jayapura — Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua akhirnya memberikan klarifikasi resmi terkait peristiwa pemusnahan sejumlah opset dan mahkota burung cenderawasih yang dilakukan pada 20 Oktober 2025 lalu. Tindakan tersebut sempat menimbulkan beragam tanggapan di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat adat Papua yang menilai burung cenderawasih sebagai simbol budaya dan kebanggaan Tanah Papua.
Dalam konferensi pers yang
digelar di Kantor BBKSDA Papua, Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso, menegaskan
bahwa langkah pemusnahan tersebut murni dilakukan dalam kerangka penegakan
hukum dan perlindungan satwa liar, bukan untuk menyinggung atau mengabaikan
nilai budaya masyarakat adat.
“Kami memahami betul bahwa
cenderawasih memiliki nilai budaya dan spiritual yang tinggi bagi masyarakat
Papua. Karena itu, kami tegaskan bahwa tindakan ini bukan untuk mendiskreditkan
budaya masyarakat adat, melainkan untuk menjaga kelestarian dan kesakralan
cenderawasih sebagai simbol identitas Papua,” ujar Johny Santoso.
Lebih lanjut, Johny menjelaskan
bahwa pemusnahan barang bukti tersebut dilakukan sesuai dengan mandat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, serta berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 mengenai penanganan barang bukti
tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.
Barang bukti yang dimusnahkan
merupakan hasil penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan ilegal satwa
dilindungi, termasuk bagian tubuh burung cenderawasih yang dijadikan opset dan
mahkota hias.
“Satwa yang dilindungi tidak
boleh diperdagangkan atau dimanfaatkan tanpa izin resmi. Pemusnahan adalah
bentuk akhir dari proses hukum agar barang bukti tersebut tidak kembali
diperjualbelikan atau disalahgunakan,” jelas Johny.
Ia juga menambahkan bahwa sebelum
pemusnahan dilakukan, pihak BBKSDA telah mempertimbangkan berbagai opsi,
termasuk kemungkinan menyerahkan barang bukti ke lembaga pendidikan atau
museum, namun keputusan akhir tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.
Menanggapi peristiwa tersebut, Komunitas
Rumah Bakau Jayapura, melalui pendirinya Abdel Gamel Nasser, menyampaikan bahwa
kejadian ini sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai persoalan hukum, tetapi
juga sebagai momentum introspeksi bersama.
“Peristiwa ini menjadi cermin
bagi kita semua — pemerintah, lembaga konservasi, dan masyarakat adat — untuk
bersama-sama menjaga simbol kebanggaan Papua. Cenderawasih bukan sekadar satwa,
tetapi lambang kehidupan dan keindahan Tanah Papua,” ujar Abdel.
Ia juga mengajak seluruh
masyarakat agar terus menumbuhkan kesadaran lingkungan, menghentikan praktik
perburuan, serta mendukung upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat.
“Mari kita jadikan peristiwa ini
titik balik untuk memperkuat rasa memiliki terhadap kekayaan alam Papua.
Melestarikan cenderawasih berarti melestarikan jati diri kita sendiri,”
tambahnya.
Kepala BBKSDA Papua menegaskan
bahwa pihaknya akan terus menjalin komunikasi intensif dengan para tokoh adat,
akademisi, serta organisasi lingkungan agar setiap kebijakan yang diambil
memperhatikan nilai-nilai budaya lokal.
“Kami terbuka terhadap dialog. Ke
depan, kami ingin melibatkan lebih banyak pihak dalam merumuskan pendekatan
konservasi yang menghormati adat, budaya, dan kearifan lokal,” tutur Johny.
Menurutnya, keberhasilan
konservasi di Papua sangat bergantung pada kolaborasi antara masyarakat adat
dan pemerintah. Dengan demikian, langkah penegakan hukum dapat berjalan selaras
dengan upaya menjaga martabat dan identitas budaya masyarakat setempat.
Peristiwa ini membuka ruang
refleksi penting bagi semua pihak tentang bagaimana hukum konservasi diterapkan
tanpa mengabaikan akar budaya yang telah melekat di masyarakat Papua selama
berabad-abad.
Pemerhati lingkungan menilai,
perlu ada pendekatan baru yang lebih humanis dan edukatif dalam menegakkan
aturan konservasi di wilayah adat. Hal ini penting agar masyarakat tidak hanya
memahami sisi hukum, tetapi juga merasakan manfaat nyata dari upaya pelestarian
satwa endemik seperti burung cenderawasih.
BBKSDA Papua berjanji akan terus
memperkuat edukasi publik, memperluas kampanye anti-perburuan satwa dilindungi,
serta mengembangkan kemitraan konservasi bersama masyarakat lokal.
“Kami berharap langkah-langkah ke
depan bisa menjadi jembatan antara pelestarian alam dan pelestarian budaya
Papua,” tutup Johny Santoso.
Penulis: Hendrik
Editor: GF