Bareskrim Polri Sosialisasikan Pedoman Diversi untuk Anak di Bawah 12 Tahun
Dorong penerapan keadilan restoratif yang lebih konsisten, Polri ajak lintas instansi bersinergi dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum
Papuanewsonline.com - 21 Agu 2025, 06:21 WIT
Papuanewsonline.com/ Hukum & Kriminal

Papuanewsonline.com, Jakarta — Direktorat Tindak Pidana Pelindungan Perempuan dan Anak serta Pemberantasan Perdagangan Orang (Dittipid PPA PPO) Bareskrim Polri terus memperkuat komitmen perlindungan anak melalui kegiatan Sosialisasi Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun. Acara ini digelar di Ruang RPK Dittipid PPA PPO Bareskrim Polri, Lantai 1, dengan melibatkan peserta dari internal Polri maupun lintas instansi terkait, baik secara langsung maupun melalui Zoom Meeting.
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Dir PPA PPO Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Dr. Nurul Azizah, didampingi Wadir, para Kasubdit, dan jajaran personel. Sementara secara daring hadir perwakilan Kementerian Sosial RI, Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Direktorat Pelayanan Tahanan dan Anak, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, pekerja sosial profesional, Kasubdit Renakta Polda jajaran, Kanit PPA Satreskrim Polres jajaran, hingga penyidik PPA dari seluruh Indonesia.
Dalam sambutannya, Brigjen Pol.
Nurul Azizah menegaskan bahwa sosialisasi ini merupakan tindak lanjut dari
amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA) serta penyesuaian dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru,
UU Nomor 1 Tahun 2023.
“Anak adalah generasi penerus
bangsa yang wajib kita lindungi. Dalam penegakan hukum, anak tidak boleh
diperlakukan semata-mata sebagai pelaku tindak pidana, melainkan juga sebagai
individu yang berhak mendapatkan perlindungan, pembinaan, dan pendidikan,” ujar
Brigjen Pol. Nurul.
Brigjen Pol. Nurul menekankan
pentingnya pedoman teknis ini sebagai acuan seragam dan aplikatif bagi seluruh
penyidik anak di Indonesia. Dengan adanya pedoman ini, Polri berharap tidak ada
lagi perbedaan penafsiran di lapangan yang dapat menghambat penanganan perkara
anak.
“Melalui pendekatan keadilan
restoratif, kita ingin mengembalikan anak pada keadaan semula, bukan menghukum
atau memberi stigma. Diversi, pendampingan menyeluruh, serta reintegrasi sosial
harus diutamakan agar anak bisa kembali ke keluarga dan masyarakat,” tegasnya.
Sosialisasi ini juga menjadi forum penyamaan persepsi antar aparat penegak hukum — mulai dari Polri, kejaksaan, pemasyarakatan, hingga pekerja sosial — agar penanganan anak di bawah 12 tahun yang berhadapan dengan hukum (ABH) dapat berjalan konsisten di seluruh wilayah Indonesia.
Kolaborasi lintas sektor ini
diharapkan mampu menghadirkan solusi menyeluruh, mulai dari musyawarah diversi,
rehabilitasi, hingga reintegrasi sosial anak. Dengan begitu, proses peradilan
pidana anak benar-benar berpihak pada prinsip perlindungan anak dan keadilan
restoratif.
Kegiatan ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa Polri berkomitmen tidak hanya dalam aspek penegakan hukum, tetapi juga dalam perlindungan hak-hak anak sebagai kelompok rentan. Pendekatan yang humanis ini diharapkan dapat memperkuat kepercayaan publik bahwa penegakan hukum di Indonesia semakin berorientasi pada nilai keadilan dan kemanusiaan.
Penulis : GF
Editor : GF