logo-website
Rabu, 15 Okt 2025,  WIT

Wali Murid di Timika Geruduk SMP Kalam Kudus: Tuntut Keadilan atas Dugaan Rasisme

Kasus dugaan rasisme di lingkungan pendidikan kembali mencuat di Timika. Para orang tua siswa menuntut sekolah bertindak tegas usai seorang siswi Papua disebut “monyet” oleh teman sekelasnya.

Papuanewsonline.com - 15 Okt 2025, 12:43 WIT

Papuanewsonline.com/ Pendidikan & Kesehatan

Sejumlah orang tua siswa dan warga Papua melakukan aksi damai di depan SMP Kalam Kudus Timika, menuntut keadilan atas dugaan tindakan rasisme yang dialami salah satu siswi Papua, Senin (13/10/2025).

Papuanewsonline.com, Timika — Suasana depan SMP Kalam Kudus Timika, Jalan Kudus, Mimika, mendadak tegang pada Senin pagi. Puluhan orang tua siswa dan warga Papua menggelar aksi damai sebagai bentuk protes terhadap dugaan tindakan rasisme yang dialami oleh seorang siswi Papua di sekolah tersebut.


Mereka datang membawa sejumlah poster bertuliskan “Sa Bukan Monyet”, “Stop Rasisme di Sekolah”, hingga “Kami Ingin Sekolah Tanpa Diskriminasi”. Aksi ini menjadi bentuk kekecewaan para orang tua terhadap sikap pihak sekolah yang dinilai lamban menanggapi insiden tersebut.

Dugaan rasisme itu terjadi pada Jumat (10/10/2025) di ruang kelas saat kegiatan belajar berlangsung. Berdasarkan keterangan keluarga korban, seorang siswa diduga memanggil siswi Papua bernama Brigita dengan sebutan “monyet” sebanyak tiga kali, bahkan saat wali kelas masih berada di ruangan.

“Saya sangat kecewa dan sakit hati,” ujar ibu Brigita, saat ditemui di lokasi aksi.

“Pendidikan di sini memang bagus, tapi kalau kami lihat, anak-anak Papua seperti dikucilkan. Kadang anak saya di dalam kelas tidak punya teman, jadi dia harus keluar cari teman di kelas lain,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Sejak kejadian itu, Brigita dikabarkan trauma dan enggan bersekolah. Sang ibu mengaku telah mencoba menenangkan anaknya agar bertahan hingga akhir semester, sebelum dipindahkan ke sekolah lain.

“Anak saya bilang, ‘Mama, saya mau pindah sekolah.’ Tapi saya bilang, sekolah ini mahal, kenapa mau pindah? Dia jawab, ‘Saya tidak punya teman, Mama’. Jadi kami sepakat tunggu semester ini selesai dulu baru pindah,” ungkapnya.

Para orang tua siswa yang hadir menegaskan bahwa insiden ini tidak bisa dianggap remeh. Mereka menyebut kasus tersebut bukan sekadar perundungan (bullying), melainkan tindakan rasisme yang melukai martabat anak-anak Papua.


“Ini bukan soal dibuli, tapi sudah rasis. Waktu kejadian, anak saya sudah lapor ke wali kelas, tapi cuma dijawab ‘Sabar, Yana’. Setelah itu, wali kelas keluar dan tidak menanggapi lagi,” ucap ibu Brigita dengan nada kesal.

Massa yang hadir pun mendesak agar pihak sekolah segera mengambil tindakan tegas terhadap siswa pelaku serta guru yang dinilai abai dalam menangani laporan tersebut.

“Kami minta anak-anak yang melakukan rasis itu dikeluarkan dari sekolah. Kalau satu wali kelas saja bisa hancurkan satu kelas, bagaimana kalau ada banyak guru seperti itu?” tegas seorang perwakilan wali murid lainnya.

Dari pantauan lapangan, sejumlah peserta aksi menyebut bahwa Brigita bukan satu-satunya korban. Beberapa siswa Papua lain, terutama siswi perempuan, juga disebut mengalami perlakuan diskriminatif serupa.

“Yang paling kena itu anak-anak perempuan. Mereka pakai perasaan. Setelah dibuli, mereka langsung tidak mau berangkat sekolah,” tutur salah satu orang tua yang hadir.

Kondisi ini, menurut mereka, mengancam semangat belajar anak-anak Papua yang berjuang menempuh pendidikan di sekolah swasta bergengsi tersebut.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak keluarga korban mengaku belum menerima permintaan maaf baik dari siswa pelaku maupun pihak sekolah.

“Belum ada permintaan maaf sampai sekarang. Kami bicara di muka umum supaya semua tahu bahwa kami bukan monyet, kami manusia sama seperti kalian. Hentikan bully dan rasisme di sekolah ini,” ujar ibu Brigita lantang.

Ia berharap kejadian ini dapat menjadi pelajaran penting bagi semua pihak, terutama lembaga pendidikan, agar lebih peka terhadap isu rasisme dan diskriminasi di lingkungan sekolah.

“Kami ingin anak-anak Papua belajar di lingkungan yang aman dan saling menghargai. Jangan kecilkan mereka, karena mereka juga punya hak yang sama untuk berhasil,” pungkasnya.

 

 

Penulis: Abim

Editor: GF

Bagikan berita:
To Social Media :
Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE